Kontroversi Rancangan Undang-Undang Anti Pembajakan Online (SOPA)
sepertinya berakhir saat RUU ini ditarik. Pelopor RUU ini, Lamar Smith,
anggota Kongres asal Texas dari Partai Republik, menarik SOPA setelah
draft aturan itu menuai kritik karena berpotensi menjadi alat sensor di
internet.
Namun selain SOPA, masih ada aturan yang mengancam kebebasan
berinternet. Aturan itu merupakan ACTA, atau the Anti-Counterfeiting
Trade Agreement. Ini merupakan traktat kesepakatan yang sedang digagas
sejumlah negara, yaitu Amerika Serikat, komunitas Eropa, Swiss, dan
Jepang. Traktat ini juga melibatkan Australia, Republik Korea, Selandia
Baru, Mexico, Jordania, Maroko, Singapura, Uni Emirat Aran, dan Kanada.
Mengutip situs dari lembaga Electronic Frontier Foundation, sebenarnya
aturan ini mengatur tentang materi fisik seperti obat-obatan. Namun, ada
salah satu isi yang membuat khawatir para aktivis internet, yaitu
aturan mengenai "distribusi di internet dan teknologi informasi".
Lalu apa bahayanya ACTA? Kelompok hacktivist Anonymous membuat analogi
jika ACTA diterapkan dalam sebuah video yang diunggah di YouTube.
Misalnya Anda ikut kursus memasak, maka Anda dilarang menyebar informasi
mengenai resep yang didapat di kursus itu. Jika Anda memberikan
informasi mengenai resep yang Anda dapat di kursus itu ke istri Anda
misalnya, maka Anda dan istri bisa terancam pidana yang diatur dalam
ACTA di negara Anda tinggal.
Tapi bagaimana jika Anda tinggal sendirian? Untuk memastikan informasi
resep itu tidak tersebar, maka ACTA memungkinkan pengawasan terhadap
Anda, bahkan keluarga, yang jelas mengancam privasi individu.
Lalu seperti apa ACTA akan diterapkan di internet? Mengutip laman
Forbes, ACTA memungkinkan hukum di sejumlah negara yang berpartisipasi
untuk memaksa seluruh penyedia layanan internet atau Internet Service
Provider (ISP) untuk mengadopsi aturan ini.
Dalam penjelasan Anonymous, ISP akan diwajibkan mengawasi seluruh
aktivitas di internet. Jadi jika Anda menerima kiriman MP3 dari teman
Anda melalui Instant Messaging, atau mengunggah (upload) video yang ada
hak cipta (copyright), atau mengirim email yang mengandung konten yang
memiliki hak cipta, maka Anda terancam pidana.
ISP juga akan memeriksa untuk memastikan tidak ada materi yang
mengandung konten hak cipta untuk disebarluaskan, atau konten bajakan.
Konten itu bisa berupa musik, gambar atau video.
Dengan demikian, perusahaan internet yang menyediakan tautan terhadap
materi ini pun juga terancam hukuman yang diatur dalam ACTA. Ini
termasuk video-sharing seperti YouTube, layanan Instant Messaging
seperti Yahoo atau Gmail, juga jejaring sosial seperti Facebook dan
Twitter.
Karena ACTA dianggap mengancam kebebasan berinternet, sejumlah lembaga
seperti Electronic Frontier Foundation, juga kelompok hacktivist
Anonymous terus berkampanye melakukan penolakan terhadap ACTA.
Dilansir dari Forbes, sejumlah negara disebut telah meratifikasi ACTA
ini. Di AS sendiri aturan ini masih dalam proses, sebelum dilakukan
ratifikasi di Senat. Menurut Forbes, ACTA disusun terkesan secara
sembunyi-sembunyi.
Karena dianggap tidak transparan, ACTA pun ditentang oleh sejumlah
negara, antara lain Brazil dan India. Kedua negara ini menganggap ACTA
akan berdampak terhadap perekonomian mereka yang masih dalam tahap
berkembang. Ini berarti produk suatu negara bisa jadi ikut terancam jika
ada negara lain yang sudah mempatenkannya terlebih dahulu.
Di AS, penolakan terhadap ACTA terus dilakukan. Bahkan, petisi penolakan pun sudah disebar di internet.
Tapi hingga sekarang, belum diketahui sudah sejauh mana ACTA ini
berproses dan bisa diterapkan. Belum diketahui pula apakah penutupan
sejumlah situs file-sharing seperti Megaupload merupakan sekedar uji
coba untuk melihat respon masyarakat, sebelum akhirnya ACTA diterapkan.
Rabu, 25 Januari 2012
SOPA Ditarik, Ancaman Baru Laen Muncul: ACTA
Categories:
News
1 komentar:
kunjungan hangat.. kunjung balik yach. jangan lupa follow nya.. :D
Posting Komentar